Dua bocah SD duduk santai di teras rumah sembari mengobrol asyik. Si adik memulai pembicaraan, "Mas, si Fulan lebih banyak lho, hafalannya daripada aku." "Ooo.. gitu ya? Kalau itu si gimana?" Tanya si kakak.
"Kalau si itu..., lebih banyak akulah, hafalannya..!" Jawab adik dengan pedenya.
Tiba-tiba sang kakak menyuruh adiknya untuk menyetorkan salah satu surat dalam al-Qur'an. Dengan penuh khusyuk si adik menyetorkan bacaannya, tanpa menyadari bahwa kami telah memperhatikan dialog mereka sejak awal.
Sungguh hati ini bergetar dan mata berlinang saat menyaksikan kejadian di atas. Ucapan sederhana mereka jauh lebih indah di dengar daripada syair pujanga. Bahkan, obrolan singkat mereka sangat memikat hati daripada motivasi para motivator. Mengapa?
Karena yang mereka bincangkan tentang agama (al-Qur'an). Bukankah anak seusia mereka biasa membicarakan seputar permainan atau film kartun yang mereka tonton?...
Di tempat yang lain, seorang anak yang masih duduk di bangku PAUD. Suatu ketika ibu guru menyuruh murid-muridnya melukis bebas. Seperti biasa, anak-anak seusia PAUD senang melukis pohon, rumah, mobil, bunga, gunung, awan dan objek lain yang mudah dilukis. Akan tetapi berbeda dengan anak ini. Dia malah melukis pocong yang menyeramkan. Saya bertanya kepada ibunya, "Kok, bisa begitu?" "Ya, karena dia sering nonton film horor di rumah." jawabnya.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya
Ya, semua itu adalah hasil didikan dari seorang guru yang mulia; ibunda. Ibundanya yang berperan aktif membina anak-anaknya. Karena ibu adalah guru pertema bagi mereka.
Peran ibu sangat penting sebagai pencetak generasi sejak dini. Ibu adalah sosok yang pertama kali berinteraksi dengan anak. Sebab itulah, baik buruknya sikap anak sangat berpengaruh dari peran didikan orang tuanya, terutama sekali ibu. Sabda Rasulullah SAW (yang artinya),
"Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani maupun Majusi." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wahai para ibu, jangan berharap memiliki anak yang rajin ke masjid jika kalian tidak pernah melaksanakan shalat. Jangan bermimpi memiliki anak yang hafal al-Qur'an jika kalian tidak pernah menyentuh al-Qur'an. Dan jangan pernah menuntut anak untuk bertutur kata baik jika setiap hari yang dia dengar di rumah adalah ucapan-ucapan yang tak layak untuk didengar.
Ingat! Ibu adalah guru pertama bagi anaknya.
Profesi mulia
Jika seorang ibu rumah tangga ditanya tentang pekerjaan, maka dia akan menjawab dengan merendahkan diri, "Saya tidak kerja apa-apa, hanya sebagai ibu rumah tangga."
Wahai para pendidik putra-putri Islam, bukankah menjadi ibu rumah tangga itu adalah pekerjaan yang sangat mulia? Bahkan, pekerjaan tersebut sangat berat jika dibebankan kepada para suami? Buktinya, tatkala istri tak ada di rumah atau sedang sakit, maka si suami sangat kerepotan membersihkan rumah, mengurus anak-anak, mencuci, memasak dan yang laninnya.
Wahai para ibu, memang benar tatkala kalian kerja di luar akan menambah penghasilan, menyejahterakan keluarga, dan untuk membahagiakan si buah hati di masa depannya. Namun sadarlah, peran kallian sebagai ibu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik anak, melainkan juga kebutuhan rohani mereka. Karena anak memerlukan kasih sayang, keteladanan, serta pendidikan moral sejak dini.
Kasih sayang, itulah yang paling dibutuhkan oleh seorang anak. Karena ia belum mengerti arti sebuah karier. Yang mereka ingat dan tahu, bahwa ibunya sekarang tidak peduli dan sering meninggalkannya di rumah.
Bermain di balik layar
Sebuah drama yang mampu membua para penonton terhibur, bukanlah semata-mata karena aktornya yang pandai berakting, melainkan juga karena ada sutradara dan kru lain yang berperan di balik layar.
Begitu pula seorag anak. Di balik kesuksesannya, ada seorang ibu yang mendidik, mendukung dan senantiasa mendoakan kebaikan baginya. Lihatlah kisah-kisah ulama terahulu. Siapakah yang mengantarkan mereka sukses menjadi ulama? Setelah taufik dari Allah, tentu semua itu adalah ibunda mereka yang bermain di balik layar. Ibu yang tidak dikenal tetapi mampu melahirkan generasi terkenal. Ibu yang tidak pernah bermimpi untuk menulis kita yang berjilid-jilid, akan tetapi ia mampu mendidik anak-anaknya sehingga mereka menjadi rujukan kaum muslimin di seluruh dunia.
Bukankah di balik kecerdasan, kesabaran dan keberanian Anas bin Malik, ada Ummu Sulaim; seorang ibu yang cerdas, sabar dan berani? Di belakang Urwah bin Zubair, ada ibunda Asma' binti Abu Bakar? Demikian pula Imam Syafi'i, Imam al-Bukhari dan yang lainnya. Benarlah perkataan, "Di balik pria yang agung, ada seorang ibu yang mulia."
Ummi, ajari kami
Setiap insan memiliki tanggung jawab yang kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak ada satu pun yang terlepas dari pengadilan akhirat. Begitu pula seorang ibu, dia akan ditanya tentang tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya),
"Dan seorang istri adalah pemimpin atas anggota keluarga suaminya dan anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawabannya atas semua itu." (HR. al-Bukhari: 7138)
Tugas dan tanggung jawab besar seorang ibu adalah mendidik, menyiapkan dan mencetak generasi yang unggul. Membentuk watak, karakter, dan kepribadian seorang anak sedini mungkin. Sebagaimana yang kita ketahui pada Tarbiyah Nabawiyah. Rasulullah SAW bersabda,
"Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika usia tujuh tahun, dan pukullah (jika mereka tidak mau) ketika usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka." (HR. Abu Dawud)
Rasul SAW juga bersabda
"Nak, ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kanan, dan ambillah (makanan) yang terdekat denganmu." (HR. al-Bukhari dan Muslim)