Contoh Nyata Penerapan Sikap Hikmah
Easystem   29 Agustus 2018   Dibaca 853 kali  

             Berikut contoh beberapa praktik yang hendak nya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat :

  1. Tidak tampil beda dalam berpakaian, selama pakaian yang ada di masyarakat tidak bertentang dengan syari'at Islam.

       Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogianya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakat, selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syari'at Islam.

       Seandainya masyarakat kampung terbisa untuk memakai sarung, kemeja, baju koko dan songhkok hitam, maka hendaknya kita tidak berusaha untuk tampil beda, dengan memakai jubah, gamis (baju pakistan), 'Imamah ( serban yang dililit di kepala) atau syimagh ( kerudung yang bisa di pakai oleh laki - laki Arab). Karena menurut para ulama: yang disunnahkan dalam masalah pakaian; hendaknya seseorang menyesuaikan pakaiannya dengan pakaian penduduk negrinya, selama pakaian mereka tidak bertentangan dengan syari'at Islam.

       Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bagaimana pakaian Rasul, "Cara berpakaian Rasulullah adalah apa yang Allah mudahkan ke beradaanya di negari beliau."

        AL - Allamah Ibnu Aqil berkata, " Tidak Seyogianya menyelisihi kebiasaan masyarakat,kecuali dalam hal yang haram."

        Syaikh Abdul Qadir al - jailani meneragkan, "Di antara bentuk pakaian yang sebaiknya ditinggalkan: Setiap pakaia yang bisa menjadi ditinggalkan: setiap pakaian yang bisa menjadikan pemakaianya'trekenal' di masyarakat: seperti pakaian yang berbeda dengan kebiasaan negeri dan masyarakatya. Maka hendaklah dia memakai pakaian yang bisa dipakai oleh masyarakat."

        Al - Allamah Muhamad as-Saffarini menegaskan, "Bab: Makruh hukumnya ( bagi seorang muslim Untuk )Menyelisihhi penduduk negrinya dalam masalah pakaian. Seyoginya dia negerinya dalam masalah pakaian. seyogianya dia memakai pakaian yang bisa dipakai di negrinya, agar tidak menjadi bahan perhatian, yang kemudian mengakibatkan penduduk negrinya menggunjing dia, sehingga dia pun ikut berdosa karena menjadi sebab mereka berbuat ghibah."

        Setelah Syaikh al - Allamah Muhamad al - Utsaimin menjelaskan bahwa pakaian yang paling dicintai oleh Rasulullah adalah jubah, beliau menjelaskan agar seorang muslim  tetap menyesuaikan pakainnya dengan pakaian yang bisa di pakai oleh penduduk daerahnya. Beliau Riya-dhhush Shalihin Bab ' Adab berpakaian , ' di antara yang ada yang menunjukan bahwa pakaian yang paling dicintai Rasulullah adalah tsaub (jubah) namun demikian, seandainya engkau berada di suatu daerah yang adat penduduknya memakai baju dan sarung, lalu engkau memakai pakaian serupa, maka tidak masalah. yang penting engkau tidak menyelisihi pakaian masyarakat daerahmu, agar engkau tidak terjerumus ke dalam (Larangan memakai pakaian yang mengakibatkan pemakainya) 'tenar'. Karena Nabi telah melarang (muslim untuk memakai ) pakaian (yang mengakibatkan dirinya)'tenar'

         Syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan salah satu adab berpakaian, " Perhatikanlah indahnya penampilan, estetika dalam berpakaian, dan kebiasaan yang ada selama tidak menyelisihi syar'at yang suci."

         Kalau begitu, berarti di indonesia kita sama sekali tidak boleh memakai gamis atau jubah?? Tidak juga, tergantung daerah tempat kita tinnggal. Ada beberapa daerah di indonesia yang gamis dan jubah sudah mebudaya di sana , Kalau demikian keadaanya maka tidak mengapa kita pakaian tersebut  dikenakan oleh kaum pria akan mejadi hal yang sangat aneh di mata penduduk daerah itu, Kalau demikian keadaannya maka hendaknya kita memakai paakaian yang umum dipakai di sana dengan tetap memperhatikan norma - norma syari'at.

  1. Hukum memakai pantalon

          Mungkin akan timbul pertanyaan, "Jika memang kita diperhatikan untuk memakai pakaian yang bisa dipakai di daerah kita,  Lantas apa hukum memakai pantalon (celana panjang) yang ini berasal dari adat orang kafir, namun saat ini telah menjadi pakaian mayoritas kaum pria di negeri kita? Apakah ini termasuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang kafir yang di haramkan di dalam agama Islam?"

         sebelum kita menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya kita membahas secara ringkas : apa yang dimaksud dengan "pantalon" , Juga apa yang dimaksud dengan "pantalon" , Juga apa yang di maksud dengan tasyabbuh dengan orang kafir.

  1. Apa yang dimaksud dengan pantalon ?

       Ada dua kata di dalam kosa kata 'Arab' yang mewakili kata celana panjang;yaitu (sirwal) dan (pantalon). Sebagian orang mengira bahwa dua kata ini sama, padahal hakikatnya tidak demikian.

       Sirwal Adalah salah satu model pakaian yang sudah dikenal sejak zaman Nabi dan disebutkan di dalam berbagai Hadits. Sementara itu, Pantalon adalah pakaian yang bisa dipakai oleh orang - orang Barat, dan baru masuk ke negeri - negeri kaum muslimin setelah terjadi penjajahan. Kedua - duanya sama - sama dipakai untuk menutupi bagian bawah tubuh mulai dari pusar sampai kaki;  hanya sajah sirwal bentuknya lebar, sedang pantalon maka bentuk asalnya ketat. Jadi jelaslah bahwa yang dipermasalahkan adalah hukum memakai pantalon, yang pada asalnya adalah pakaian orang kafir dan juga bentuknya ketat.

  1. Pengertian tasyabbuh dengan orang kafir

        Tasyabbuh dengan orang kafir maksudnya: menyerupai mereka dalam adat istiadat dan perkara keagamaan yang mereka ada-adakan baik itu aqidah maupun ibadah yang merupakan kekhususan mereka.

         Dan ini hukumnya adalah haram. Hukum tersebut berlandaskan banyak dalil shahih, baik dari al - Quran maupun hadits Nabi.

          Diantara ayat al -Qura'an yang melarang tasyabbuh dengan orang kafir, firman Allah Ta'ala:

Hai orang - orang yang beriman, janganlah kamu katakan(kepada Muhammad), "Rai'ina" tetapi katakanlah "Unzhurna" dan " dengarlah". Dan bagi orang kafir siksaan yang pedih. (Qs. al - Baqarah[2]:104)

  Al - Hafiz Ibnu Katsir menyimpulkan dari ayat di atas bahwa, " Allah Ta'ala melarang para hamba-nya golongan yang beriman untuk bertasyabbun dengan orang - orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka."

     Di antara hadits yang melarang tasyabbuh dengan kafir, sabda Nabi.

من تثبه بقؤم فهو منهم

"Barang Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dia termasuk dari mereka

    Dan para ulama juga telah berjima' akan ke haraman tasybubbuh dengan kafir, secara garis besar, sebagaimana yang dinukil oleh syaikhul Islam.

  1. Kapankah seseorang bisa dikatakan telah bertasyabbuh dengan orang kafir ?

    Seseorang tidak bisa dihukumi telah bertasyabbuh dengan orang kafir melainkan jika dia melakukan suatu perbuatan yang merupakan kekhususan adat dan agama mereka.

    Jadi, jika suatu perbuatan sudah merupakan perkara yang tersebar di negeri  kaum muslimin, dan telah sama - sama dikerjakan baik oleh orang kafir maupun kaum muslimin, meskipun asalnya perbuatan itu dari adat orang kafir, maka orang Islam yang melakukannya tidak bisa dikatakan telah bertasyabbuh dengan orang kafir  karena saat itu dia tidak melakukan perbuatan yang merupakan kekhususan orang kafir yang jika dikerjakan maka masyarakat langsung menilai bahwa dia adalah orang kafir. Kecuali jika ia berniat di dalam hatinya untuk bertasyabbuh dengan orang kafir, maka saat itu ia berdosa karena niat buruknya tersebut bukan karena perbuatanyna.

    Kaidah ini telah diterapkan secara nyata oleh al - Hafizh Ibnu Hajar al - Asqalani ketika beliau ditanya tentang hukum memakai thayalisah (salah satu model tutup kepala yang bisa di pakai oleh Yahudi ), setelah topi tersebut tersebar pemakaiannya di kalangan kaum muslimin. Beliau menjawab, "Berdalil dengan kisah orang - orang yahudi (Untuk mengharamkan thayalish) bisa dibenarkan di saat thayalish merupakan syi'ar (tanda) mereka. Adapun di zaman ini, hal itu telah luntur, maka hukumnya berubah menjadi boleh."

   Beliau lebih memperjelas lagi keterangannya, "seandainya dikatakan bahwa larangan untuk memakainya (yakni memakai maitsarah (pelana sutra berwarna merah yang bisa di pakai orang kafir), karena hal itu termasuk tasyabbuh dengan orang - orang asing dan itu termasuk perkara agama ( maka jawabanya ) memang pakaian itu adalah syi'ar (tanda) mereka di saat mereka kafir, tetapi saat ini pakaian tersebut sudah bukan merupakan pakaian khusus mereka, sehingga tidak lagi termasuk pakaian yang terlarang ( untuk dipakai oleh kaum muslimin).

  Ada suatu hal yang amat penting untuk dijelaskan di sini berkaitan dengan kaidah di atas, sebelumnya kami mohon maaf kepada para pembaca yang budiman jika mukadimah ini dianggap terlalu panjang.

  Di atas sudah dijelaskan bahwa jika suatu perbuatan - meskipun bersumber dari orang kafir - seandainya telah tersebar praktiknya dikalangan kaum muslimin. Kaidah ini hanya mencakup perbuatan yang merupakan syi'ar keagamaan mereka; seperti pemakai salib  atau perbuatan yang asalnya telah di haramkan di dalam agama Islam; seperti pakaian sutra bagi kaum pria. Meskipun seandainya dua model perbuatan di atas telah membudayakan di kalangan  kaum muslimin, dan sudah bukan merupakan kekhususan orang kafir, hal tersebut tetap di haramkan untuk  dikerjakan oleh orang Islam

  1. Haramkah memakai pantolan ?

   Sekarang tiba saatnya kita menjelaskan hukum kaum pria memakai pantalon di negeri kita, berlandaskan kaidah yang telah disebutkan oleh para ulama di atas. Hukum kaum pria memakai pantol di negeri kita adalah boleh; karena hal tersebut tidak termasuk ke dalam kategori tasyabbuh dengan orang - orang kafir. Sebab pakaian tersebut telah menjadi pakaian umum yang dipakai oleh kaum muslimin di negeri kita, dan tidak lagi merupakan pakaian khusus orang kafir.

   Inilah yang difatwakan oleh para ulama Ahlus Sunnah di Zaman ini, meskipun kita tidak menafikan adanya ulama Ahlus Sunnah lain yang tidak sependapat. Di antara para ulama ahlus Sunnah yang membolehkan memakai pantolan bagi kaum pria yang hidup di negeri yang pantolnya telah membudaya di kalangan kaum pria di dalamnya adalah:

  • Syaikh al - Allamah Abdul Aziz bin Baz
  • Syaikh al - Allamah  Abdurrazzaq Afifi
  • Syaikh al - Allamah Abdullah bin Ghudayyan
  • Syaikh al - Allamah Abdul bin Qu'ud
  • Syaikh al - Allamah  Muhammad bin Shalih al - Ustsaimin

  Tapi perlu di ingat, baahwa pantalon tersebut kainnya tidak boleh tipis dan bentuknya harus lebar dan tidak boleh ketat dan lebar tidaknya pantolan diukur ketika seseorang dalam keadaan berdiri, bukan ketika dia rusuk atau sujud.

 Ketika shalat - meskipun pantolan yang kita pakai lebar - sebaiknya kita memakai sarung di atasnya, atau baju panjang yang menutup pantalon hingga lutut, sehingga aurat pusar dan lutut lebih bertutup. karena sebagian ulama memandang bahwa hukum shalat memakai pan talon adalah makruh, meskipun shalatnya sendiri hukumnya sah.

  1.   Boleh mengimami shalat di dalam mihrab masjid, lebih - lebih jika jama'ah belum paham

   Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu mas jid yang ada mihrabnya, diperbolehkan baginya untuk shalat di mihrab itu, apalagi jika jama'ah masjid belum siap untuk menerima penjelasan bahwa mihrab hukumnya lebih dekat ke bid'ah.

   Yang kami maksud dengan mihrab di sini adalah mihrab yang dikenal sekarang di masjid masjid, yaitu bagian khusus di arah kiblat untuk tempat imam memimpin shalat. Di Arab Saudi umumnya berbentuk setengah lingkaran , sedang di indonesia biasanya merupakan ruangan sendiri yang berbentuk kubus.

   Kami merasa perlu untuk menjelaskan hal di atas, karena barangkali ada yang bertanya tanya, mihrab dipermasalahkan? Bukankah mihrab telah disebutkan dalam berbagai ayat di al - Q ? Jawabnya: Mihrab yang dimaksud di dalam al - Qura'an bukan mihrab yang dikenal sekarang, namun yang dimaksud adalah: ruang atau tempat yang tinnggi, di situ seseorang menyendiri dari manusia dan kesibukan duniawi. Sekarang ada dua permasalahan di hadapan kita

  pertama: Hukum membuat mihrab

      Membuat mihrab merupakan suatu perkara yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang; Sebagaian mengatakan tidak apa apa, Sebagaian mengatakan tidak boleh. Di antara ulama Ahlus Sunnah Zaman ini yang berpendapat bolehnya membangun mihrab : Syaikh al - Allamah Abdul Azziz bin Baz Dan Syaikh al - Allamah Muhammad al - Ustaimin, bahkan Syaikh al - Ustaimin menganggap nya mustahab. Adapun ulama yang memandang bahwasanya membangun mihrab hukumnya adalah bid'ah di antara: Syaikh al - Muhaddits Muhammad Nashiruddin al - Albani

     Namun sebaiknya, ketika membangun majid, kita tidak perlu membuat mihrab yang dikenal sekarang, dalam rangka menghindarkan diri  dari perselisihan para ulama, juga karena mihrab  dengan bentuk seperti itu tidak dikenal zaman Nabi. Yang pertama kali membuatnya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aiziz ketika menjadi Gubernur Madinah di zaman pemerintah al Walid bin Abdul Malik.

Kedua: Hukum Shalatnya imam di mihrab

     Setelah kita mengetahui bahwa pembangunan mihrab sebaiknya dihindari, bagaimana halnya jika masjid yang ada sudah terlanjur memiliki mihrab, Apakah sang imam harus shalat di luarnya?

    Syaikh Abdul Malik Ramadhani menjelaskan permasalahan di atas, "Masalah ini (masalah mihrab ) merupakan permasalahan fiqih. Kalau pun mihrab dianggap sebagai Suatu bid'ah, perbuatan meninggalkan shalat di dalamnya tidak melenyapkan bid'ah tersebut. yang masuk ke dalam kategori bid'ah tersebut. Yang masuk ke dalam kategori bid'ah adalah membangun mihrab tersebut bukan shalat di dalamnya. Meski pun kita tidak shalat di dalamnya, mihrab itu tetap ada selama kita belum mampu untuk menghilangkannya, maka tidak masalah jika kita shalat di dalamnya."

Syaikh Ali bin Hasan al Halabi menerangkan, "Mihrab adalah bid'ah, namun shalat di dalamnya sah."

Meskipun demikian, sebaiknya imam tidak masuk total di dalam mihrab, namun agak mundur sedikit; supaya terlihat oleh makmum yang berada di sebelah kanan dan kirinya.

     Keterangan di atas tidak berarti bahwa kita merestui suatu malam bid'ah. Namun, kita perlu mempertimbangkan tingkat kesepian jama'ah masjid atau mushalla untuk menerima hal 'baru' yang akan kita sampaikan, juga dampak fitnah yang akan ditimbulkan, jika kita memaksaksan diri untuk menyampaikannya sebelum datang waktu nya yang tepat.

     Terekam dalam sejarah bahwa dahulu ka'bah dikelilingi oleh 360 berhala yang disembah oleh kaum musyrikin. pada tahun 7 H, Rasulullah besrta kurang lebih dua ribu orang sahabat nya beragkat dari Madinah ke Makkah untuk menunaikan umrah. Mereka berthawaf di sekeliling ka'bah ada 360 berhala. Beliau dan para sahabatnya tidak mengusik ratusan berhala tersebut karena memang belum saatnya untuk melakukan hal itu.

     Baru kira kira setahun kemudian, tatkala Rasulullah menaklukkan kota Makkah beserta kurang lebih sepuluh ribu orang sahabatnya beliau menyapu bersih' ratusan berhala tersebut dari sekililing ka'bah sambil membaca firman Allah (yang artinya): "Kebenaran telah datang dan kebatilah telah hancur. Sesungguhnya kebatilan adalah sesuatu yang pasti hancur.

(Sumber : Edisi 11 Th. Ke-11 Jumada Akhir 1433 [Apr-Mei' 12] 125 )

 

 

   

 

 

Bagikan :